MAKALAH
“PERSEPSI KORUPSI
DI INDONESIA ”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Korupsi Dan Pemerintahan Semester Genap 2021
OLEH:
INTAN COMALA DEWI
H1A118095
DOSEN PENGAMPU:
ALVA BERIANSYAH, S.IP., M.I.P.
PROGRAM STUDI
ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
JAMBI
2021
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Penurunan Indeks
Persepsi Korupsi Di Indonesia ini tepat pada waktunya.
Adapun
tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas di mata
kuliah korupsi dan pemerintahan, dosen pengampu Pak Alva Beriyansya, S.IP.,
M.I.P. pada program studi ilmu pemerintahan. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Penurunan Indeks Persepsi
Korupsi Di Indonesia bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Sebagai penyusun penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari penyusunan hingga tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Praktik korupsi telah terbukti
menimbulkan kerugian di banyak bidang dan memperlambat proses pemulihan ekonomi
di Indonesia, seperti dampak negatifnya terhadap perbaikan iklim usaha,
kebiasaan masyarakat dalam berbisnis dan juga meningkatkan kemiskinan. Berbagai
cara telah diusahakan oleh pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk
mengurangi praktik suap di kalangan pengusaha dan aparatur pemerintah.
Permasalahannya seberapa efektif upaya pemberantasan korupsi khususnya di era
otonomi daerah yang telah memberikan keleluasaan terhadap pemerintah daerah,
untuk mengurangi praktik korupsi antara pengusaha dan pemerintah.
Dalam
kurun waktu lima tahun terakhir kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia
mengalami kenaikan, meski tidak terlalu optimis. Hal ini terafirmasi dalam
laporan Corruption Perception Index (CPI) yang tiap tahun dikeluarkan oleh
Transparency International. Pada tahun 2016, menurut Transparency
International, Indonesia mendapatkan skor 37 pada rentang 0-100 (0 berarti
sangat korup dan 100 berarti sangat bersih). Indonesia menempati posisi 90 dari
176 negara yang disurvei. Respon Pemerintah Indonesia dalam pencegahan dan
pemberantasan korupsi salah satunya adalah membuat sebuah peta jalan.
Indikator
utama keberhasilan stranas PPK di tingkat nasional diukur menggunakan
Corruption Perception Index (CPI) dan National Integrity System (NIS).
Penggunaan CPI dan NIS sebagai indikator keberhasilan upaya pemberantasan
korupsi dinilai tepat mengingat CPI dan NIS merupakan indikator global yang
paling sering digunakan untuk menilai keberhasilan upaya pemberantasan korupsi
di dunia. Pada tahun 2017 ini, Transparency International Indonesia kembali
melakukan pengukuran Indeks Persepsi Korupsi pada skala nasional yang terdiri
dari 12 Kota besar yang disurvei.
BAB II
LANDASAN KONSEP
A.
Profil Organisasi Transparansi Internasional
Transparency International merupakan
sebuah organisasi internasional yang bertujuan melawan korupsi banyak
mempublikasikan hasil survei terkait korupsi. Termasuk Indeks Persepsi Korupsi
(IPK). Sebuah publikasi tahunan yang mengurutkan negara-negara di dunia
berdasarkan persepsi atau anggapan publik terhadap korupsi di jabatan publik
dan politik.
Transparency International Indonesia
(TII) merupakan salah satu chapter Transparency International, sebuah jaringan global
NGO antikorupsi yang mempromosikan transparansi dan akuntabilitas kepada
lembaga-lembaga negara, partai politik, bisnis, dan masyarakat sipil. Bersama
lebih dari 90 chapter lainnya, TII berjuang membangun dunia yang bersih dari
praktik dan dampak korupsi di seluruh dunia.TII memadukan kerja-kerja
think-tank dan gerakan sosial. Sebagai think-tank TII melakukan review
kebijakan, mendorong reformasi lembaga penegak hukum, dan secara konsisten
melakukan pengukuran korupsi melalui Indeks Persepsi Korupsi, Crinis project,
dan berbagai publikasi riset lainnya. Di samping itu TII mengembangkan fakta
Integritas sebagai sistem pencegahan korupsi di birokrasi pemerintah.
Sebagai gerakan sosial, TII aktif
terlibat dalam berbagai koalisi dan inisiatif gerakan antikorupsi di Indonesia.
TII juga merangkul mitra lembaga lokal dalam melaksanakan berbagai program di
daerah. Jaringan kerja ini juga diperluas dengan advokasi bahaya korupsi kepada
anak-anak muda di Jakarta. Staf TII terdiri dari beragam latar belakang, mulai
dari ekonomi, hukum, komunikasi, hingga antropologi, masing-masing dengan
keahliannya yang saling bersinergi untuk mendorong kemajuan kerja-kerja
advokasi TII.
B.
Indeks Persepsi Korupsi
Pada dasarnya Indeks Persepsi Korupsi
(IPK) merefleksikan pandangan pelaku usaha dari kota-kota tersurvei. Indeks
dibentuk dari hubungan perusahaan (pelaku usaha) dan pemerintah daerah dalam
melakukan proses bisnis. Dalam hal ini nilai yang lebih tinggi merupakan
indikator bahwa responden memberikan penilaian yang baik, sementara nilai
rendah mengindikasikan bahwa responden menilai bahwa di daerahnya praktik
korupsi masih tinggi.
C.
Bagaimana Proses Melakukan Survey Indeks
Persepsi Korupsi Dan Indikator Yang Mempengaruhi
Proses Survei Persepsi Korupsi 2017
dilakukan di 12 (dua belas) Kota di Indonesia. Dua belas kota tersebut adalah
Kota Pekanbaru (1), Kota Semarang (2), Kota Banjarmasin (3), Kota Pontianak
(4), Kota Makassar (5), Kota Manado (6), Kota Medan (7), Kota Padang (8),Kota
Bandung (9), Kota Surabaya (10), Kota Jakarta Utara (11), dan Kota Balikpapan
(12). Pemilihan 12 Kota survei didasari pertimbangan berikut: Pertama, provinsi
dimana kota survei berada memiliki kontribusi terbesar dalam produk domestik
bruto nasional. Kedua, kontribusinya produk domestik regional bruto provinsi
dimana kota survei berada secara akumulatif mencapai hampir 70 persen produk
domestik bruto nasional. Ketiga, 12 kota dipilih mempertimbangkan area
persebaran kegiatan ekonomi sesuai metode zonasi atau Kawasan, yakni kawasan
Indonesia bagian barat, tengah dan timur.
Responden Survei Persepsi Korupsi 2017
adalah pengusaha dan pelaku usaha. Pengusaha dan pelaku usaha yang terpilih
sebagai responden dalam survei ini adalah pengusaha dan pelaku usaha yang
memiliki pengalaman berinteraksi dengan minimal satu jenis pelayanan publik
pusat, vertikal, provinsi, kota, dan/ atau Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha
Milik Daerah dalam 12 (dua belas) bulan terakhir. Total sampel pengusaha dan
pelaku usaha yang terlibat dalam survei ini sebanyak 1.200 responden. Sampel
tersebar secara proporsional di 12 Kota tersebut. Alokasi sampel untuk
masing-masing strata dilakukan menggunakan metode alokasi sama. Survei
menggunakan margin of error sebesar 2,8%. Pengambilan sampel dilakukan
menggunakan stratified random sampling.
Kerangka sampel pengusaha yang
digunakan bersumber dari Direktori Sensus Ekonomi Nasional 2016, Direktori
Survei IPK Kota 2015, dan Direktori Perusahaan di Dinas OPD (terutama Badan
Penanaman Modal, Perizinan Terpadu Satu Pintu, Dinas Perdagangan dan
Perindustrian, atau yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya) di
masing-masing Kota. Daerah pelaksanaan survei yang memiliki jumlah sampel
kurang dari 100, maka kekurangan jumlah sampel dapat dipenuhi menggunakan
metode snowball hingga jumlah minimal sampel terpenuhi. Dan jika daerah
tersebut sudah maksimal dalam hal jumlah maka untuk memenuhi kuota 1.200
responden akan diambil dari sampel acak kota lainnya, sesuai dengan kriteria
yang sudah ditetapkan secara baku.
Pengambilan data dilakukan oleh
enumerator melalui metode wawancara tatap muka dengan pengusaha dengan panduan
kuesioner survei. Kemudian enumerator melakukan proses pemasukan data dalam
portal online. Pengumpulan data Survei Persepsi Korupsi 2017 dilakukan oleh
Transparency International Indonesia dibantu oleh koordinator wilayah survei
serentak di 12 (dua belas) kota di Indonesia pada medio Juni hingga Agustus
2017.
BAB III
ANALISIS
A.
Analisis Yang Menyebabkan Indeks Persepsi
Korupsi Indonesia Turun
Berdasarkan hasil indeks persepsi
korupsi tahun 2020 yang di luncurkan transparency international mengemukakan
bahwasanya ada Sembilan faktor yang menyebabkan indeks persepsi korupsi
Indonesia turun yaitu:
1. Political
Risk Service Corruption (PRS) yakni soal suap terkait dengan pelayanan
public,
2. IMD
Business School World (IMD) Competitiveness Yearbook terkait dengan ada
atau tidaknya penyuapan,
3. Global
Insight Country Risk Ratings (GI) terkait dengan tingkat risiko individu atau
perusahaan dalam menghadapi suap atau praktik korupsi lain,
4. World
Economic Forum Executive (WEF) Opinion Survey terkait dengan penyuapan dan
gratifikasi
5. Bertelsmann
Stiftung Transformation Index (BS) terkait dengan hukuman bagi pejabat publik
yang melakukan praktik korupsi dan upaya yang dilakukan pemerintah untuk
menanggulangi korupsi.
6. Economist
Intelligence Unit Country Risk Service (EIU) terkait akuntabilitas prosedur,
keuangan negara yang disalahgunakan pejabat baik untuk pribadi maupun partai,
atau penyalahgunaan kepentingan umum
7. Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) terkait bagaimana masyarakat mengukur
persoalan korupsi di negara tempat koresponden bekerja, Kedelapan Varieties
of Democracy Project terkait dengan korupsi politik, Kesembilan Rule
of Law Index terkait bagaimana pemerintah menggunakan fasilitas negara untuk
kepentingan pribadi baik di tingkat eksekutif, yudikatif, legislatif, dan
kepolisian.
B.
Strategi Indonesia Agar Peringkatnya Naik
Kembali
Dengan pertimbangan dalam rangka upaya
pencegahan yang lebih terfokus, terukur, dan berorientasi pada hasil dan
dampak, pemerintah memandang bahwa Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012
tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang
Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan. Atas dasar pertimbangan tersebut, pada 20 Juli 2018,
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54
Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (tautan: Perpres Nomor
54 Tahun 2018). Menurut Perpres ini, fokus Strategi Nasional Pencegahan Korupsi
(Stranas PK) meliputi: a. perizinan dan tata niaga; b. keuangan; dan c.
penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
Timnas PK, menurut Perpres ini,
terdiri atas menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perencanaan pembangunan nasional, menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di dalam negeri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang aparatur negara, kepala lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan
dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian
program prioritas nasional dan pengelolaan isu strategis, serta unsur pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Hasil
survei IPK 2017 menunjukkan bahwa tingkat korupsi pada level kota mempunyai
rerata 60.8. Dalam skala 0–100, skor IPK 2017 menandakan di atas rata-rata.
Jika dibandingkan dengan IPK 2015, di mana rerata saat itu adalah 54.6, maka
bisa dikatakan terjadi peningkatan skor yang artinya terjadi perbaikan dalam
hal interaksi pelaku usaha dengan pemerintah. Adanya tren positif dari skor IPK
2017 untuk Kota Jakarta Utara dengan skor tertinggi 73.9 menunjukkan adanya
pergeseran persepsi pelaku usaha dalam menilai layanan publik terkait.
Di
sisi lain, IPK 2017 menunjukkan adanya beberapa kota yang masih perlu usaha
keras untuk memberantas korupsi. Dalam kaitannya antara persepsi korupsi, daya
saing dan faktor penghambat kemudahan berusaha, menunjukkan korelasi positif.
Di mana kota dengan Indeks Persepsi Korupsi yang tinggi maka tingkat daya saing
dan kemudahan berusahanya juga relatif lebih baik. Sebaliknya, kota dengan
persepsi korupsi buruk maka daya saing dan kemudahan berusahanya juga akan
buruk.
DAFTAR
PUSTAKA
https://setkab.go.id/perpres-no-542018-pemerintah-bentuk-tim-nasional-pencegahan-korupsi/
Terimakasih sudah berkunjung diblog saya semoga dapat membantu pengetahuan teman-teman, see you
Social Media:
Instagram : https://www.instagram.com/intancomaladewii/
Twitter: https://www.twitter.com/intancomaladewi