Kamis, 16 April 2020

RESENSI ARTIKEL "MENELISTIK SEJARAH OTONOMI DAERAH" (HALAMAN 18-31)

SELAMAT MEMBACA,SEMOGA BERMANFAAT YA GUYS




1. MENELISTIK SEJARAH OTONOMI DAERAH
    laporan utama sejarah kebijakan otonomi daerah telah banyak mengalami pasang surut. tidak hanya sejak dilahirkannya republik bernama indonesia, tetapi sejak pra-kemerdekaan atau masa penjajahan, indonesia telah menerapkan sistem desentralisasi yang dibentuk oleh pemerintahan kolonial belanda dan jepang. meski pada saat itu sistem penentuan masih bersifat sentralistis, birokratis, dan feodalistis untuk kepentingan para penjajah sendiri, tapi bentuk inilah yang kemudian diwariskan kepada indonesia. 
    pasca kemerdekaan, barulah pemerintah indonesia mencari bentuk tata kelola dan susunan pemerintahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang lebih cocok di tengah tuntutan pembangunan. hal ini terlihat dari beberapa undang-undang tentang pemerintahan daerah yang ditetapkan dan berlaku silih berganti, bahkan hingga saat ini.
Masalah otonomi daerah merupakan hal yang hidup dan berkem- bang sepanjang masa sesuai dengan kebu- tuhan dan perkem- bangan masyarakat.Urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan pada pemerintah daerah dapat diperluas dan dipersempit tergantung pertimbangan kepentingan nasional dan kebijakan pemerintahan. Oleh kare- nanya, masalah otonomi daerah senan- tiasa menjadi perhatian yang menarik untuk dibicarakan agar menemukan titik simpul yang tepat antara yang mengatur keseimbangan hubungan kewenangan pemerintah pusat dan daerah.
     Menurut Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Jo- han, sejak awal berdirinya Negara Ke- satuan Republik Indonesia (NKRI) para founding fathers telah menjatuhkan pili- hannya pada prinsip pembagian kekua- saan dalam menyelenggarakan pemerin- tahan negara. “Cita-cita desentralisasi ini senantiasa menjadi bagian dalam praktik pemerintahan negara sejak berlakunya UUD 1945. Garis perkembangan se- jarah tersebut membuktikan, cita-cita desentralisasi senantiasa dipegang teguh oleh NKRI (Negara Kesatuan Repub- lik Indonesia), sekalipun dari periode satu ke periode lainnya yang senantiasa terlihat perbedaan dan intensitasnya,” ungkapnya Sebagai perwujudan cita-cita desentralisasi tersebut, pemerintah In- donesia telah melakukan langkah-lang- kah penting dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pemerintahan Daer- ah. “Hal itu sudah di-design sedemikian rupa oleh founding father. Kita jalankan pemerintahan silih berganti dengan me- megang prinsip Indonesia. Karena In- donesia terlalu besar dan penduduknya banyak serta multi kultur jadi tidak bisa bersifat sentralistik, harus desentralisa- si,” imbuhnya. Walau pada perjalanan dan silih ber- ganti kepemimpinan, regulasi otonomi daerah mengalami pasang surut dan masih jauh dalam realisasinya. Otonomi masih dianggap sebagai harapan ketim- bang kenyataan. Indonesia masih dalam bentuk menuju ke arah otonomi daerah yang sebenarnya.

2. OTONOMI DAERAH DI ERA ORDE BESAR 
       untuk menyusun kembali Pemerintahan Daerah, maka untuk sementara pemerintah mengelu- arkan Penetapan Pre- siden No 6 Tahun 1959 (disempurnakan) dan penetapan Presiden tahun 1960 (disem- purnakan) yang mengatur tentang Pe- merintahan Daerah. Sedangkan Dekrit Presiden (disempurnakan) mengatur DPRD Gotong Royong (DPRD GR) dan Sekretariat Daerah. Penataan pe- merintah saat itu menyesuaikan sistem demokrasi terpimpin, sehingga mem- pertahankan politik dekonsentrasi dan desentralisasi. Selanjutnya pada periode 1965-1969 (Orde Lama dan peralihan Orde Baru) diberlakukan  UU No 18  Tahun  1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang- Undang No 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No 6 tahun 1959; Penetapan Presiden No 2 tahun 1960; Penetapan Presiden No 5 tahun 1960 jo Penetapan Presiden No 7 tahun 1965. Politik sebagai GBHN. Sehingga peme- rintah saat itu menganggap perlu adanya pembaruan dari UU sebelumnya.
Dalam     UU     ini,      secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi.
Daerah oto- nomi tersebut dibagi menjadi tiga tingka- tan daerah, yaitu Kotaraya, Kotamadya, dan Kotapraja. UU ini memunyai perbe- daan yang prinsipil dari UU sebelumnya, yakni tidak dirangkapnya lagi jabatan Ketua DPRD GR oleh Kepala Daerah. ementara    itu,    daerah-dae-  rah  yang  memiliki  otonomi  khusus menurut UU sebelumnya, yak- ni UU No 1 Tahun 1957 boleh dika- takan dihapus secara sistematis dan diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Selain itu untuk mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III maka pada periode ini juga dike- luarkan UU No. 19 Tahun 1965 yang mengatur tentang Desapraja sebagai upaya bentuk peralihan untuk memper- cepat terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Indonesia yang dalam artikel ini disingkat menjadi ‘UU Desa- praja’. “Sayangnya di era akhir Presiden Soekarno ini demokrasi terpimpin se- perti namanya memimpin. Tapi yang memimpin itu pemerintah pusat, pada- hal arti otonomi daerah memberikan wewenang pada daerah,” jelas Djoher- mansyah Johan Mantan Dirjen Otda Ke- mendari.


3. DISENTRALISASI DI AWAL KEMERDEKAAN 
       Pada pasca kemerdekaan, Indonesia telah mengalami banyak perubahan bentuk regulasi dari periode ke peri- ode, hal itu semua dilaku- kan dalam mencari bentuk sistem penyelenggaraan pemerintah Indonesia yang sesuai dengan kebu- tuhan dan kemampuan daerah, serta upaya mengikuti perkembangan zaman. “Setelah Indonesia merdeka, konstitusi yang mengatur itu baru diatur secara sederhana dengan penyebutan daerah sebagai daerah otonom, baru sebatas itu saja,” tandas Muchlis Hamdi, Dosen Pascasarjana IPDN (Institut Pemerintah- an Dalam Negeri) Bukan hal yang mudah, pasang surut regulasi Indonesia memang sempat di- alami oleh pemerintahan Indonesia da- lam berbagai periode dan kurun waktu tertentu. Beberapa ahli pemerintahan pun membagi dalam beberapa wak- tu, yakni periode perjuangan, periode Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan reformasi. Regulasi dan pasang surut hubungan pemerintah pusat dan daerah yang akan dirangkum di bawah ini.
·        Periode perjuangan kemerdekaa (1945-1948)
          Menurut Djohermansyah pada periode ini Indonesia baru merdeka, dan masih dalam tahap transisi pencarian sistem pemerintahan di pusat dan daerah, sbeehluinmggada  UU  yang  menga    - tur Pemerintahan Daerah secara khu- sus. “UU yang pertama kali diterapkan adalah UUD 1945. Setelah itu, barulah PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) membentuk panitia kecil yang ditugaskan menguruskan empat masalah penting, yakni urusan rakyat, pemerintahan daerah, pimpinan kepoli- sian, dan tentara kebangsaan,” serunya. Namun sayangnya, menurut Muchlis, UU ini masih sangat sederhana me- ngatur tentang otonomi daerah. Pasal dalam UUD 1945 pada saat itu pun hanya berjumlah 38 pasal.

4. JATUH BANGUN OTONOMI PASCA-REFORMASI
     Sebenarnya, di era reformasi ini lanjut Leo merupakan jawaban dari perso- alan otonomi daerah di era Orde Baru yang belum terjawab. Seperti mas- alah Desentralisasi Politik, Desentral- isasi Administratif, dan Desentralisasi Ekonomi. “Orde Baru dalam praktiknya tidak memberi itu semua. Seolah-olah diberikan, tapi ‘ekornya’ masih dipegang oleh pemerintah pusat. Nah, di era reformasi ini semangatnya luar biasa, menjawab semua tiga kebutuhan itu,” tandasnya.   Meski diakui Leo masih ada beberapa hal yang kurang dari UU tersebut, ke- bijakan otonomi daerah melalui UU No 22 Tahun 1999 memberikan oto- nomi yang sangat luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota. Hal itu ditempuh dalam rangka mengemba- likan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendi- dikan politik dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan. Namun sayangnya, banyak kekeliruan dalam penerapan arti kata otonomi yang sebenarnya. Teruta- ma terkait dengan uang. “Banyak dae- rah yang menganggap dengan adanya otonomi, maka daerah berhak menga- tur keuangannya masing-masing secara bebas. Kebebasan ini yang seringkali di- salahartikan. Seperti di daerah Indrama- yu, pemerintah daerah memungut pajak bagi kendaraan muatan yang membawa barang dagangannya melintas. Padahal hanya melintas, tidak berbisnis di situ. Ini salah satu contoh melenceng dari aturan. Semangat otonomi ialah memu- dahkan bisnis bukan mempersulit,” cer- ita Leo. Namun pendapat lain juga dijelaskan oleh Pakar Otonomi Daerah dari IPDN (Institut Pendidikan Dalam Negeri), Muchlis Hamdi, menurut dia sebenar- nya cita-cita pembentukan regulasi itu memang tujuannya sangat mulia, namun ada beberapa hal yang perlu dilihat ter- lebih dahulu. “Bicara otonomi daerah, kita pasti akan bicara seperti bandul yang bergerak, bandul ini mau di arahkan ke arah mana, ke arah efisiensi atau ke arah demokra- si. Semakin ke arah efisiensi artinya se- makin banyak penyempitan pembagian kekuasaan, dsb (karena alasan efisiensi) berarti itu artinya semakin ke arah sen- tralistik. Kalau arahnya ke demokrasi, berarti memberi kebebasan dan kele- luasaan kepada daerah yang artinya se- makin desentralistik. Nah, pasca refor- masi inilah yang terus menuju ke arah demokrasi terus hingga kebablasan,” jelasnya.  Melihat hal tersebut, kebijakan otonomi daerah atas dasar UU No 22 Tahun 1999 Lahirnya UU No 32 Tahun 2004 Kelahiran UU No 32 tahun 2004 ini bertepatan dengan pelaksanaan pemilu legislatif dan Pilpres, sehingga kurang mendapatkan perhatian publik yang se- dang euphoria dan gegap gempita me- nyambut Pilpres dan Pileg langsung per- tama kalinya.
         Salah satu tim perancang yang membuat lahirnya UU No 32 Tahun 2004 ini ada- lah Plt. Kepala BPP Kemendagri, Dodi Riyadmadji. Dodi menganggap seman- gat dari UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah menyem- purnakan UU sebelumnya. “Saya sebenarnya adalah salah satu kon- septor utama UU No 32 Tahun 2014. Bukannya saya subyektif, tapi kita harus melihat UU itu selalu diciptakan dengan cita-cita untuk memajukan masyarakat di kabupaten/kota. Pada saat pemba- gian urusan, kita berpikir semua orang pasti punya niat baik. Dalam UU No 32 Tahun 2004 itu persoalan sanksi ti- dak dijelaskan secara detail, tapi ditulis pada turunannya. Sehingga pada saat itu Pak Gamawan (Menteri Dalam Neg- eri sebelumnya) meminta saya untuk menyempurnakan UU No 32 Tahun 2004 dengan memasukkan aturan sanksi di dalamnya,” cerita Dodi yang ditemui Media BPP beberapa waktu lalu.  Tidak hanya Dodi, Muchlis pun juga menjelaskan, hadirnya UU No 32 Tahun 2004 adalah untuk menyeimbangkan bandul bergerak yang diilustrasikan tadi. “UU ini hadir agar arahnya tidak terla- lu ke arah demokrasi dan juga tidak ke arah efisiensi. Harapannya ketika itu, sekali dibentuk maka akan membentuk relasi kewenangan. Seperti halnya sapu lidi, terdiri dari beberapa kumpulan lidi yang disatukan atau diikat dengan tali, tali itu yang namanya regulasi UU Oto- nomi Daerah yang selaras,” imbuhnya.Untuk itu, harapan para pembuat ke- bijakan dalam UU No 32 Tahun 2014 itu terdiri dari cakupan materi yang lebih lengkap. Seperti materi pengatu- ran tentang Pilkada dan juga pembagian wewenang daerah. “Secara garis besar pada undang-undang itu .