SELAMAT MEMBACA,SEMOGA BERMANFAAT YA GUYS
1. MENELISTIK SEJARAH OTONOMI DAERAH
laporan utama sejarah kebijakan otonomi daerah telah banyak
mengalami pasang surut. tidak hanya sejak dilahirkannya republik
bernama indonesia, tetapi sejak pra-kemerdekaan atau masa penjajahan,
indonesia telah menerapkan sistem desentralisasi yang dibentuk
oleh pemerintahan kolonial belanda dan jepang. meski pada saat itu
sistem penentuan masih bersifat sentralistis, birokratis, dan
feodalistis untuk kepentingan para penjajah sendiri, tapi bentuk inilah
yang kemudian diwariskan kepada indonesia.
pasca kemerdekaan,
barulah pemerintah indonesia mencari bentuk tata kelola dan susunan
pemerintahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang lebih
cocok di tengah tuntutan pembangunan. hal ini terlihat dari beberapa
undang-undang tentang pemerintahan daerah yang ditetapkan dan berlaku
silih berganti, bahkan hingga saat ini.
Masalah otonomi daerah merupakan hal yang hidup
dan berkem- bang sepanjang masa sesuai
dengan kebu- tuhan dan perkem- bangan masyarakat.Urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan pada pemerintah daerah dapat diperluas dan dipersempit tergantung pertimbangan
kepentingan nasional dan kebijakan pemerintahan. Oleh kare- nanya, masalah otonomi daerah senan- tiasa menjadi perhatian yang menarik untuk dibicarakan agar menemukan titik simpul yang tepat antara
yang mengatur keseimbangan hubungan kewenangan pemerintah
pusat dan daerah.
Menurut
Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Jo- han, sejak awal berdirinya Negara
Ke- satuan Republik Indonesia (NKRI)
para founding fathers
telah menjatuhkan pili- hannya pada prinsip
pembagian kekua- saan dalam menyelenggarakan pemerin- tahan negara.
“Cita-cita desentralisasi ini senantiasa menjadi
bagian dalam praktik pemerintahan negara sejak
berlakunya UUD 1945. Garis perkembangan se- jarah tersebut membuktikan, cita-cita desentralisasi senantiasa dipegang teguh oleh
NKRI (Negara Kesatuan Repub- lik Indonesia),
sekalipun dari periode satu ke periode
lainnya yang senantiasa terlihat
perbedaan dan intensitasnya,” ungkapnya Sebagai
perwujudan cita-cita desentralisasi tersebut,
pemerintah In- donesia telah melakukan langkah-lang- kah penting dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
Pemerintahan Daer- ah. “Hal itu sudah di-design sedemikian rupa oleh founding
father. Kita jalankan pemerintahan silih berganti dengan
me- megang prinsip Indonesia.
Karena In- donesia terlalu besar dan
penduduknya banyak serta multi kultur jadi tidak bisa bersifat sentralistik, harus desentralisa- si,” imbuhnya. Walau pada perjalanan dan silih ber- ganti kepemimpinan, regulasi otonomi daerah mengalami pasang
surut dan masih jauh dalam
realisasinya. Otonomi masih
dianggap sebagai harapan ketim- bang kenyataan. Indonesia masih dalam bentuk menuju ke arah otonomi
daerah yang sebenarnya.
2. OTONOMI DAERAH DI ERA ORDE BESAR
untuk menyusun kembali Pemerintahan Daerah,
maka untuk sementara pemerintah mengelu- arkan
Penetapan Pre- siden No 6 Tahun 1959 (disempurnakan) dan penetapan Presiden tahun 1960 (disem- purnakan) yang mengatur tentang Pe- merintahan Daerah.
Sedangkan Dekrit Presiden
(disempurnakan) mengatur DPRD Gotong Royong
(DPRD GR) dan Sekretariat Daerah. Penataan pe- merintah saat itu menyesuaikan sistem demokrasi
terpimpin, sehingga mem- pertahankan
politik dekonsentrasi dan desentralisasi. Selanjutnya pada periode 1965-1969 (Orde Lama dan
peralihan Orde Baru) diberlakukan
UU No 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang- Undang No 1 Tahun 1957, Penetapan
Presiden No 6 tahun 1959;
Penetapan Presiden No 2 tahun
1960; Penetapan Presiden No 5 tahun 1960 jo Penetapan
Presiden No 7 tahun 1965. Politik sebagai
GBHN. Sehingga peme- rintah saat itu
menganggap perlu adanya pembaruan dari
UU sebelumnya.
Dalam UU
ini, secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis
daerah otonomi.
Daerah oto- nomi tersebut dibagi menjadi tiga
tingka- tan daerah,
yaitu Kotaraya, Kotamadya, dan Kotapraja. UU ini memunyai perbe- daan yang prinsipil dari UU sebelumnya, yakni tidak dirangkapnya lagi jabatan Ketua DPRD GR oleh Kepala
Daerah. ementara itu,
daerah-dae- rah yang
memiliki otonomi khusus menurut UU sebelumnya, yak- ni UU No 1 Tahun 1957 boleh dika- takan dihapus
secara sistematis dan diseragamkan dengan daerah
otonomi biasa. Selain itu untuk mempersiapkan pembentukan daerah otonom
tingkat III maka pada periode ini juga dike- luarkan UU No. 19 Tahun 1965 yang mengatur tentang Desapraja
sebagai upaya bentuk peralihan untuk memper- cepat terwujudnya Daerah
Tingkat III di seluruh Wilayah
Indonesia yang dalam artikel ini disingkat menjadi
‘UU Desa- praja’.
“Sayangnya di era akhir Presiden Soekarno ini demokrasi terpimpin se- perti namanya
memimpin. Tapi yang memimpin
itu pemerintah pusat, pada- hal arti
otonomi daerah memberikan wewenang pada
daerah,” jelas Djoher- mansyah Johan
Mantan Dirjen Otda
Ke- mendari.
3. DISENTRALISASI DI AWAL KEMERDEKAAN
Pada pasca kemerdekaan, Indonesia
telah mengalami banyak perubahan
bentuk regulasi dari periode ke peri-
ode, hal itu semua dilaku- kan dalam mencari
bentuk
sistem penyelenggaraan
pemerintah Indonesia yang sesuai dengan kebu- tuhan
dan kemampuan daerah, serta upaya mengikuti perkembangan zaman. “Setelah Indonesia merdeka, konstitusi yang mengatur itu baru diatur secara sederhana dengan penyebutan daerah sebagai daerah otonom, baru sebatas
itu saja,” tandas Muchlis Hamdi,
Dosen Pascasarjana IPDN (Institut Pemerintah- an Dalam Negeri) Bukan hal yang mudah,
pasang surut regulasi Indonesia memang
sempat di- alami oleh
pemerintahan Indonesia da- lam berbagai periode dan kurun
waktu tertentu. Beberapa ahli
pemerintahan pun membagi dalam beberapa
wak- tu, yakni periode perjuangan, periode Demokrasi Terpimpin,
Orde Baru, dan reformasi. Regulasi dan pasang surut hubungan pemerintah pusat dan daerah yang akan dirangkum di bawah ini.
·
Periode perjuangan kemerdekaa
(1945-1948)
Menurut Djohermansyah pada periode
ini Indonesia baru
merdeka, dan masih dalam tahap transisi pencarian
sistem pemerintahan di pusat dan daerah, sbeehluinmggada UU yang menga - tur Pemerintahan Daerah secara khu- sus.
“UU yang pertama
kali diterapkan adalah UUD 1945. Setelah
itu, barulah PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) membentuk panitia kecil yang ditugaskan
menguruskan empat masalah penting, yakni urusan rakyat, pemerintahan daerah, pimpinan kepoli-
sian, dan tentara kebangsaan,” serunya. Namun sayangnya, menurut Muchlis, UU ini masih sangat sederhana me- ngatur tentang otonomi
daerah. Pasal dalam UUD 1945 pada saat itu pun hanya berjumlah 38 pasal.
4. JATUH BANGUN OTONOMI PASCA-REFORMASI
Sebenarnya, di era reformasi ini lanjut Leo
merupakan jawaban dari perso- alan otonomi daerah
di era Orde
Baru yang belum terjawab. Seperti mas- alah
Desentralisasi Politik, Desentral- isasi Administratif, dan Desentralisasi
Ekonomi. “Orde Baru dalam praktiknya tidak memberi itu semua.
Seolah-olah diberikan, tapi ‘ekornya’ masih
dipegang oleh pemerintah pusat. Nah, di era reformasi ini
semangatnya luar biasa, menjawab semua tiga kebutuhan itu,” tandasnya. Meski diakui
Leo masih ada
beberapa hal yang kurang
dari UU tersebut, ke- bijakan otonomi daerah melalui UU No 22 Tahun 1999 memberikan oto- nomi yang sangat luas kepada daerah,
khususnya kabupaten dan kota. Hal itu ditempuh dalam rangka mengemba- likan harkat
dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang
pendi- dikan politik dalam
rangka peningkatan kualitas pendidikan. Namun sayangnya, banyak kekeliruan dalam penerapan arti kata otonomi yang
sebenarnya. Teruta- ma terkait dengan uang. “Banyak dae- rah yang menganggap dengan adanya
otonomi, maka daerah berhak menga- tur keuangannya masing-masing secara bebas. Kebebasan ini yang seringkali di- salahartikan. Seperti di daerah Indrama- yu, pemerintah daerah memungut
pajak bagi kendaraan muatan yang membawa
barang dagangannya melintas. Padahal hanya melintas, tidak
berbisnis di situ. Ini salah satu contoh
melenceng dari aturan.
Semangat otonomi ialah memu- dahkan
bisnis bukan mempersulit,” cer- ita Leo. Namun pendapat lain juga dijelaskan oleh Pakar Otonomi
Daerah dari IPDN (Institut Pendidikan Dalam Negeri), Muchlis Hamdi, menurut dia sebenar- nya cita-cita pembentukan regulasi itu memang tujuannya sangat mulia, namun ada beberapa
hal yang perlu
dilihat ter- lebih dahulu. “Bicara otonomi daerah,
kita pasti akan bicara seperti bandul yang bergerak, bandul ini mau di arahkan
ke arah mana, ke arah efisiensi atau ke arah demokra- si. Semakin ke arah
efisiensi artinya se- makin banyak penyempitan pembagian kekuasaan, dsb (karena alasan efisiensi)
berarti itu artinya
semakin ke arah sen-
tralistik. Kalau arahnya
ke demokrasi, berarti memberi
kebebasan dan kele- luasaan kepada daerah yang artinya se- makin
desentralistik. Nah, pasca refor- masi inilah yang terus menuju ke arah demokrasi
terus hingga kebablasan,” jelasnya. Melihat hal tersebut, kebijakan
otonomi daerah atas
dasar UU No 22 Tahun 1999 Lahirnya UU No 32 Tahun 2004 Kelahiran UU No 32 tahun 2004 ini bertepatan dengan
pelaksanaan pemilu legislatif dan
Pilpres, sehingga kurang mendapatkan perhatian publik yang se- dang euphoria dan gegap gempita me- nyambut Pilpres dan Pileg langsung per- tama kalinya.
Salah satu tim perancang yang membuat lahirnya UU No 32 Tahun 2004 ini ada- lah
Plt. Kepala BPP Kemendagri, Dodi
Riyadmadji. Dodi menganggap seman-
gat dari UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah adalah menyem- purnakan UU sebelumnya. “Saya sebenarnya adalah salah satu kon-
septor
utama UU No 32 Tahun 2014. Bukannya saya subyektif, tapi kita harus melihat UU itu selalu
diciptakan dengan cita-cita
untuk memajukan masyarakat di
kabupaten/kota. Pada saat pemba- gian urusan, kita berpikir
semua orang pasti punya
niat baik. Dalam UU No 32 Tahun 2004 itu persoalan sanksi
ti- dak dijelaskan secara detail,
tapi ditulis pada turunannya. Sehingga pada saat itu Pak Gamawan (Menteri Dalam Neg-
eri sebelumnya) meminta saya untuk menyempurnakan UU No 32 Tahun 2004 dengan memasukkan aturan sanksi
di
dalamnya,” cerita Dodi
yang ditemui Media BPP beberapa waktu
lalu. Tidak
hanya Dodi, Muchlis pun juga menjelaskan, hadirnya UU No 32 Tahun 2004 adalah untuk menyeimbangkan bandul bergerak yang
diilustrasikan tadi. “UU ini hadir
agar arahnya tidak terla-
lu ke arah demokrasi dan juga tidak ke
arah efisiensi. Harapannya ketika itu, sekali dibentuk
maka akan membentuk relasi kewenangan. Seperti halnya sapu
lidi, terdiri dari beberapa kumpulan
lidi yang disatukan atau diikat
dengan tali, tali itu yang namanya
regulasi UU Oto- nomi Daerah
yang selaras,” imbuhnya.Untuk itu, harapan para pembuat ke- bijakan dalam UU No 32 Tahun 2014 itu terdiri dari cakupan materi yang lebih lengkap. Seperti materi pengatu- ran tentang
Pilkada dan juga pembagian wewenang daerah. “Secara
garis besar pada
undang-undang itu .